DURI - PT Chevron Pasifik Indonesia kecewa penangguhan penahanan karyawannya ditolak Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia. Hal tersebut disampaikan Kuasa Hukum PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) Maqdir Ismail, bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi bioremediasi, September lalu, tidak berkekuatan hukum.
"Penolakan sungguh tidak masuk akal dan sangat menyedihkan, karena penetapan mereka sebagai tersangka tidak berdasarkan hukum. Mereka disangka korupsi, tapi sampai sekarang kerugian negara belum nyata dan pasti, bahkan belum dihitung," ujar Maqdir saat dihubungi kabarduri.com.
Dijelaskan Maqdir, penangguhan penahanan diajukan karena para tersangka merasa selalu kooperatif selama menjalani proses penyidikan oleh penyidik Kejaksaan Agung. Menurut dirinya, penahanan yang dilakukan Kejagung juga tidak berdasarkan alasan yang objektif. Disamping itu, penyidik mengatakan sedang memproses hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung total kerugian negara.
"Kejaksaan menetapkan mereka sebagai tersangka saja sudah terlalu dini. Penahanan itu juga tidak berdasarkan alasan yang objektif, tidak alasan sesuai KUHAP yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penahanan," lanjut Maqdir.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus, Andi Nirwanto mengatakan, pihaknya masih perlu melakukan penyidikan terhadap tujuh tersangka dari PT Chevron Pasifik Indonesia dan perusahaan kontraktor lain. "Penyidik belum kabulkan itu karena dianggap masih perlu penanganan," terang Andi di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan.
Sedangkan, Indonesian Petroleum Association (IPA) melalui Direktur Eksekutif IPA Dipnala Tamzil, sangat prihatin terhadap perkembangan kasus Bioremediasi yang telah membawa dampak dan mengakibatkan penahanan beberapa karyawan dari salah satu perusahaan anggotanya. Kemungkinan kriminalisasi operasi KKS akan menjadi preseden buruk dengan konsekuensi yang sangat luas bagi masa depan industri Migas di Indonesia.
"Setiap anggota perusahaan IPA sudah berkomitmen untuk beroperasi dengan standar tertinggi dan sesuai dengan hukum, serta peraturan yang berlaku di Indonesia. Oleh karena KKS merupakan kontrak bisnis, kami berpendapat bahwa setiap sengketa yang timbul dari implementasi proyek KKS sebaiknya diselesaikan berdasarkan prinsip hukum perdata, dan bukan prinsip hukum pidana, sesuai ketentuan KKS," paparnya.
Dirinya juga mengatakan, bahwa IPA berharap penahanan karyawan perusahaan ini akan segera ditangguhkan. Sementara proses penyelidikan terus berlanjut. (fely)
"Penolakan sungguh tidak masuk akal dan sangat menyedihkan, karena penetapan mereka sebagai tersangka tidak berdasarkan hukum. Mereka disangka korupsi, tapi sampai sekarang kerugian negara belum nyata dan pasti, bahkan belum dihitung," ujar Maqdir saat dihubungi kabarduri.com.
Dijelaskan Maqdir, penangguhan penahanan diajukan karena para tersangka merasa selalu kooperatif selama menjalani proses penyidikan oleh penyidik Kejaksaan Agung. Menurut dirinya, penahanan yang dilakukan Kejagung juga tidak berdasarkan alasan yang objektif. Disamping itu, penyidik mengatakan sedang memproses hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung total kerugian negara.
"Kejaksaan menetapkan mereka sebagai tersangka saja sudah terlalu dini. Penahanan itu juga tidak berdasarkan alasan yang objektif, tidak alasan sesuai KUHAP yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penahanan," lanjut Maqdir.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus, Andi Nirwanto mengatakan, pihaknya masih perlu melakukan penyidikan terhadap tujuh tersangka dari PT Chevron Pasifik Indonesia dan perusahaan kontraktor lain. "Penyidik belum kabulkan itu karena dianggap masih perlu penanganan," terang Andi di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan.
Sedangkan, Indonesian Petroleum Association (IPA) melalui Direktur Eksekutif IPA Dipnala Tamzil, sangat prihatin terhadap perkembangan kasus Bioremediasi yang telah membawa dampak dan mengakibatkan penahanan beberapa karyawan dari salah satu perusahaan anggotanya. Kemungkinan kriminalisasi operasi KKS akan menjadi preseden buruk dengan konsekuensi yang sangat luas bagi masa depan industri Migas di Indonesia.
"Setiap anggota perusahaan IPA sudah berkomitmen untuk beroperasi dengan standar tertinggi dan sesuai dengan hukum, serta peraturan yang berlaku di Indonesia. Oleh karena KKS merupakan kontrak bisnis, kami berpendapat bahwa setiap sengketa yang timbul dari implementasi proyek KKS sebaiknya diselesaikan berdasarkan prinsip hukum perdata, dan bukan prinsip hukum pidana, sesuai ketentuan KKS," paparnya.
Dirinya juga mengatakan, bahwa IPA berharap penahanan karyawan perusahaan ini akan segera ditangguhkan. Sementara proses penyelidikan terus berlanjut. (fely)
Posting Komentar